Oleh : Aria Bantar Dinarwan, SP., MA (PSM Ahli Madya)


Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya, kekayaan alam yang melimpah, dan keindahan panorama alamnya. Sesuai dengan Undang-undang no. 6 Tahun 2014 tentang desa, menjelaskan bahwa desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang memiliki kekuasaan otonom untuk mewujudkan pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggungjawab, dan juga untuk mendorong munculnya prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat, guna mengembangkan potensi dan aset desa, untuk tujuan mewujudkan kesejahteraan bersama. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan timbulnya semangat transformasi desa yaitu desa didorong secara mandiri mengembangkan berbagai aktivitas dan potensi berbasis kearifan lokal yang produktif dan bernilai ekonomis; berhak mengatur - mengurus sendiri urusan perencanaan, melaksanakan kegiatan untuk pengembangan potensi lokal; dan memiliki pendanaan yang besar sebagai modal memenuhi kebutuhan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, mandiri, tidak menggantungkan diri pada bantuan/campur tangan pemerintah pusat. Hal ini menjadikan alasan bagi pemerintah untuk mengembangkan dan mendorong pembentukan desa wisata.

Pengembangan desa wisata diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat desa, membuka lapangan kerja di desa sehingga mengurangi arus urbanisasi, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta memajukan kebudayaan asli daerah. Pengembangan desa wisata juga merupakan salah satu bentuk percepatan pembangunan desa secara terpadu untuk mendorong transformasi sosial, budaya, dan ekonomi desa. Desa wisata adalah komunitas atau masyarakat yang terdiri dari para penduduk suatu wilayah terbatas yang bisa saling berinteraksi secara langsung dibawah sebuah pengelolaan dan memiliki kepedulian serta kesadaran untuk berperan bersama dengan menyesuaikan keterampilan individual berbeda.  Desa wisata dibentuk untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berperan sebagai pelaku langsung dalam upaya meningkatkan kesiapan dan kepedulian dalam menyikapi potensi pariwisata atau lokasi daya tarik wisata diwilayah masing-masing desa. Menurut Darsono (2005) desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keaslian baik dari segi sosial budaya, adat istiadat, keseharian, arsitektur tradisional, struktur tata ruang desa yang disajikan dalam suatu bentuk integrasi komponen pariwisata antara lain atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung.

Agar pariwisata di pedesaan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi, budaya, dan lingkungan setempat dan bersifat berkelanjutan diperlukan adanya :

  1. Kemampuan/Kompetensi masyarakat dan aparat desa untuk dapat mengidentifikasi potensi lokal dan mengoptimalkan potensi tersebut.
  2. Peran serta partisipasi aktif tidak hanya dari stakeholder setempat, melainkan masyarakat desa maupun pihak luar yang berkepentingan untuk mendukung upaya pengembangan desa wisata secara berkelanjutan. Inisiatif pariwisata berbasis masyarakat melibatkan penduduk setempat dalam perencanaan dan pengelolaan kegiatan pariwisata, dengan istilah Community Based Tourism (CBT). Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat setempat sangat penting dalam memberikan dukungan yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan kapasitas, dan upaya pemasaran yang dapat membantu menarik wisatawan dan mempromosikan praktik pariwisata berkelanjutan.
  3. Pemahaman menyeluruh tentang masyarakat lokal, budaya, sumber daya alam, dan infrastruktur. Dengan melakukan analisis komprehensif dan melibatkan masyarakat lokal, pemangku kepentingan pariwisata dapat mengidentifikasi nilai jual yang unik dan menciptakan produk dan pengalaman pariwisata berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan wisatawan maupun penduduk setempat.

 

Community Based Tourism (CBT), biasa juga disebut sebagai pariwisata berbasis masyakat. Secara konseptual, prinsip dasar CBT adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan. Sehingga, manfaat kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat. Konsep CBT digunakan oleh para perancang dan pegiat pembangunan pariwisata sebagai strategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan pariwisata. Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas dan meletakkan nilai lebih dalam pariwisata, khususnya kepada para wisatawan. Dapat dikatakan bahwa CBT merupakan konsep ekonomi kerakyatan yang riil, yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnya langsung dinikmati oleh masyarakat. Konsep ini lebih mementingkan dampak pariwisata terhadap masyarakat dan sumber daya lingkungan. CBT muncul dari strategi pengembangan masyarakat, dengan menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat pedesaan yang mengelola sumber daya pariwisata dengan partisipasi masyarakat setempat.

Meski muncul dari masyarakat, CBT tidak seutuhnya menjadi solusi yang sempurna untuk masalah masyarakat. Perlu dikaji dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga CBT dapat berjalan dengan baik, karena perlu adanya dukungan baik oleh aparat desa maupun masyarakat desa secara sadar. Masyarakat harus memiliki kekuatan untuk memodifikasi atau menangguhkan CBT agar tidak melampaui kapasitas pengelolaan masyarakat atau membawa dampak negatif yang tidak terkendali. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengoptimalkan potensi desa guna pengembangan pariwisata sangat penting untuk pertumbuhan pariwisata yang berkelanjutan serta pembangunan desa secara keseluruhan. Hal ini memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan untuk memastikan bahwa pengembangan pariwisata bermanfaat baik bagi wisatawan maupun masyarakat lokal sekaligus untuk melestarikan warisan alam dan budaya daerah tersebut demi generasi mendatang.

Seringkali kita temui fenomena desa wisata yang β€œlatah” menawarkan layanan yang seragam dengan layanan pada destinasi desa wisata yang viral di media sosial seperti tempat pengambilan gambar selfie istilahnya love-love, kapal, atau wahana bycicle in the air, ayunan gantung, flying fox dan layanan lainnya yang sering disediakan pada destinasi wisata sehingga mengurangi kekhasan dan keunikan dari desa wisata tersebut. Mungkin saat pertama kali pembukaan banyak dikunjungi wisatawan, namun sejalan dengan waktu, jumlah kunjungan wisatawan menurun drastis. Belajar contoh dari desa wisata lain yang sudah dikenal luas dan rutin dikunjungi oleh turis domestik maupun manca negara seperti :

  1. Desa Panglipuran di Bali, penduduk desa ini dikenal sangat menjunjung tinggi tradisi para leluhur. Tata ruang Desa Penglipuran memiliki konsep Tri Mandala yang sudah turun temurun. Desa ini juga mempertahankan hutan bambu yang mengelilingi desa, sebab hal ini dipercaya oleh masyarakat sebagai pelindung. Selain kental dengan kulturnya, wisatawan juga bisa menikmati suguhan festival budaya yang menarik perhatian. Diketahui, pada tahun 2018 Desa Penglipuran dinobatkan ke daftar tiga desa terbersih di dunia menurut pilihan pembaca majalah perjalanan Conde Nast Traveler.
  2. Desa Pentingsari Yogyakarta, Desa wisata yang berlokasi di Kabupaten Sleman ini terletak di dekat kawasan Gunung Merapi dengan ketinggian 700 mdpl. Di tempat ini, pengunjung dapat melakukan wisata budaya meliputi berkemah, membatik, mendaki, outbound, belajar gamelan, menari, sampai belajar untuk membuat mainan wayang dari rumput. (Detik.com)

Dari dua contoh desa diatas, tampak bahwa untuk menarik wisatawan tidak wajib ada wahana wisata yang bermacam-macam, cukup dengan menawarkan paket budaya dan paket mengunjungi tempat-tempat aktivitas warga desa sudah cukup menarik bagi wisatawan. Tentu saja paket-paket wisata tersebut merupakan perumusan dari data hasil kegiatan identifikasi potensi lokasi dan analisa data potensi lokasi tersebut.

Peningkatan kapasitas/kompetensi dari masyarakat desa, aparat desa, anggota kelompok sadar wisata dan pengurus BUMDesa untuk mengidentifikasi masalah dan pemanfaatan potensi lokal guna merumuskan konsep desa wisata, merencanakan, mengelola, mengevaluasi dan mengembangkan desa wisata melalui pelatihan menjadi hal yang penting untuk segera dilakukan. Kejelian untuk mengidentifikasi masalah dan pemanfaatan potensi lokal (atraksi, amenitas, dan aksesibilitas), keinginan untuk menjaga kelestarian alam dan budaya serta kepedulian masyarakat untuk berperan serta dalam pembentukan serta pengembangan desa wisata, adaptif terhadap perilaku dan kebutuhan pasar/konsumen, serta mampu menciptakan event-event yang khas yang berbeda dengan desa wisata lainnya merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mewujudkan desa wisata yang berkelanjutan. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam hal ini masyarakat desa, dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan mandiri dengan memanfaatkan dana desa. 

Sesuai dengan prioritas penggunaan dana desa tahun 2023 bertujuan untuk pemulihan ekonomi nasional, program prioritas nasional, dan mitigasi dan penanganan bencana alam dan non-alam untuk mendukung pencapaian SDGs Desa. Program sektor prioritas di desa berupa bantuan permodalan kepada BUMDesa, program kesehatan termasuk penanganan stunting, dan pariwisata skala desa sesuai dengan potensi dan karakteristik desa, serta program atau kegiatan lain. 

Meskipun instansi pelatihan/pendidikan dari pemerintah pusat (Balai Pelatihan Masyarakat Desa Kemendesa, BLK Kemenaker, LPK, Perguruan Tinggi, dst) menyediakan beragam kegiatan pelatihan dan pendampingan yang berhubungan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia masyarakat desa untuk pengembangan dan pengelolaan desa wisata, namun jumlah paket pelatihan yang ada sangat minim. Untuk itu diperlukan adanya sharing penggunaan sumber anggaran kegiatan dari dana desa ataupun CSR dari perusahaan swasta yang ada disekitar wilayah desa guna mendukung pelaksanaan Pelatihan Mandiri (pelatihan menggunakan dana non APBN Balai). Gambaran materi pembelajaran pelatihan Desa Wisata adalah sebagai berikut :

1.   Konsep dan Prinsip Pembangunan Desa Wisata

2.   Identifikasi dan Analisa Potensi Pariwisata

3.   Kearifan Lokal sebagai Modal Pengembangan Desa Wisata

4.   Sistem Tata Kelola dan Kelembagaan Pengelola Desa Wisata

5.   Pengembangan Desa Wisata Berbasis Komunitas

6.   Menjalin Kerjasama, Kemitraan dan Advokasi Pembangunan Wisata

7.   Pengembangan Paket Wisata

8.   Pemasaran Produk Wisata di Era Digital

9.   Pengembangan Produk Wisata

10. Penyusunan Proposal Pembangunan Desa Wisata

11. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Desa Wisata

 

Untuk melaksanakan pelatihan mandiri, pihak desa/masyarakat desa dapat memilih materi pembelajaran mana yang diperlukan, sehingga sesuai dengan anggaran alokasi dana desa dan waktu pelatihan yang diperlukan oleh calon peserta.

Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Jakarta memiliki tugas utama yaitu melaksanakan kegiatan fasilitasi dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia, fasilitasi dan pendampingan pemberdayaan masyarakat, serta penerapan model pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi dengan wilayah kerja yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Lampung. Jenis pelatihan yang rutin dilaksanakan pertahun menggunakan dana APBN adalah pelatihan Pengelolaan BUMDesa (spesifikasi pembukuan dan E-Commerce), pelatihan Desa Wisata, pelatihan Masyarakat Adat dan Pelatihan Produk Unggulan Desa/Produk Unggulan Kawasan Desa (Prudes/Prukades), Penelusuran Kebutuhan Pelatihan (Training Needs Assesment/TNA). Jenis-jenis pelatihan ini tentu saja akan sangat mendukung dalam program pengembangan BUMDesa dan desa wisata karena materi didalamnya membahas perihal identifikasi potensi lokal desa dan langkah optimalisasi potensi tersebut (perencanaan, pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan dan monev kegiatan).

Adanya keterbatasan anggaran, bukan berarti Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Jakarta tidak dapat menjalankan tugas dan fungsi pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Beberapa cara ditempuh untuk mengatasi kendala tersebut, antara lain pelaksanaan kegiatan pelatihan secara Blended System (Online-Offline), penerapan Learning Management System (LMS) dengan penerapan aplikasi Salam Desa, monitoring progres kinerja alumni dengan menggunakan aplikasi Simplemas, Pendampingan Online & Offline terhadap alumni dan masyarakat desa sasaran, dan Penerapan Kaji Terap Model Pendampingan. Selain itu juga melayani permintaan pelatihan dan pendampingan mandiri yang dapat dilaksanakan di lokasi desa maupun di Balai Besar Pelatihan sendiri dengan alamat Jalan Penganten Ali 71A, Ciracas, Jakarta Timur. Permohonan pelatihan mandiri dapat diajukan ke alamat Email : bbppmd.jakarta@gmail.com atau bbplatmas.jakarta@gmail.com.

 

Sumber Pustaka:

Darsono (2005), Pengertian Desa. Diunduh tanggal 30 September 2019 dari : http://desasentonorejo.wordpress.com/b ab-ii/.

https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-5851965/ini-5-desa-wisata-indonesia-yang-terkenal-di-kancah-internasional.

Editor :

1. Dyna Maretta Sutan

2. Riska Yolanda