I.   Pendahuluan

a.   Latar Belakang

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Bulan September tahun 2022 persentase tingkat kemiskinan di desa mencapai 12,36% mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan persentase tingkat kemiskinan dii Bulan Maret tahun 2022 yaitu sebesar 12,29%. Kemudian jika dibandingkan dengan persentase tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 7,53% maka persentase tingkat kemiskinan di desa lebih besar. Sementara itu, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada Tahun 2022 didapatkan hasil tingkat stunting di Indonesia masih sebesar 21,6% yang sebagian besar kasus stunting berada di desa, padahal target tingkat stunting yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi harus mencapai 14% pada tahun 2024. Adapun Dana Desa (DD) yang digelontorkan oleh pemerintah pusat untuk desa telah mencapai 538,68 triliun rupiah, angka itu akan semakin besar jika ditambah anggaran Aokasi Dana Desa (ADD) dari pemerintah kabupaten maupun dana bantuan proyek dari kementerian dan dinas yang lokus sasarannya adalah desa. Tidak disangsikan lagi bahwa desa menjadi sasaran atau lokus utama kegiatan pemerintah pusat maupun daerah sehingga wajar jika dana melimpah setiap tahunnya akan mengalir ke desa.


Fenomena desa memiliki anggaran besar namun tingkat kemiskinan dan stunting yang masih tinggi terjadi setiap tahunnya, hal ini menjadi wajar karena yang menjadi basis atau dasar perencanaan pembangunan desa adalah data yang berasal dari potensi desa (podes) dan profil desa dan kelurahan (prodeskel). Podes merupakan data yang dikeluarkan oleh BPS sementara Prodeskel dikeluarkan oleh kementerian dalam negeri, kedua sumber data tersebut diisi oleh aparat pemerintah desa dalam hal ini kepala desa, seketaris desa maupun kaur pemerintahan yang bersifat aggregate (jumlah angka). Namun sayang sekali isian questioner dari podes dan prodeskel banyak yang tidak terdapat datanya. Sehingga banyak data yang jauh dari keadaan riil di lapangan.


Data yang akurat mengenai kondisi desa dan masyarakat menjadi sangat penting karena menjadi landasan dalam merencanakan pembangunan desa. Selama ini masayarakat desa cenderung menjadi objek pembangunan, padahal partisipasi masyarakat desa harus sebagai subjek. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah mengeluarkan Peraturan Menteri Desa No 21 tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan mengeluarkan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa menjadi dasar perencanaan pembangunan desa. Menurut Iskandar (2020) SDGs desa mencakup 18 tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah dilokalkan di tingkat desa, yaitu terdiri dari desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat, Pendidikan desa yang berkualitas, keterlibatan Perempuan di desa, sanitasi dan penyediaan air bersih, desa energi bersih dan terbarukan, pertumbuhan ekonomi yang merata, infrastruktur dan inovasi desa; desa tanpa kesenjangan, desa aman dan nyaman, desa sadar lingkungan, tanggap perubahan iklim; desa peduli lingkungan laut; desa peduli lingkungan darat; desa damai dan berkeadilan; kemitraan untuk pembangunan desa; kelembagaan desa dinamis dan budaya adaptif. akan tetapi implemantasinya SDGs sebagai dasar perencaan Pembangunan di tingkat desa masih belum optimal.


Beberapa hal yang masih menjadi kendala dari implemntasi SDGs desa adalah jumlah enumerator yang terbatas dan tidak memakili di setiap dusun, belum adanya data spasial berupa foto dan gambar yang valid, updating keberlanjutan data SDGs desa belum dilakukan, server serta data base big data yang tidak memadai serta kemampuan analisis big data dari aparat pemerintah desa terbatas.


b.   Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang mendasari tulisan ini adalah banyaknya data di desa yang tidak valid hal ini dapat terlihat dari banyaknya penerima manfaat bantuan sosial di desa yang tidak tepat sasaran, serta masih tinggi tingkat kemisikinan dan kasus stunting di desa, sehingga bagaimana peran PSM membantu memfasilitasi penyediaan koleksi data yang akurat sehingga dapat menjadi dasar dalam kemajuan desa dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.

 

II. Pembahasan

Pada era 4.0 semua lini kehidupan masyarakat akan terdampak arus digitalisasi, artificial intelligence dan analisis big data tak terkecuali di tingkat desa. Namun demikian pendekatan pembangunan desa yang bersifat top down kurang tepat, akan tetapi model pembangunan partisipatif dalam memberdayakan masyarakat akan lebih sesuai dalam pembangunan desa.


Saat ini kebutuhan data valid dan akurat di tingkat desa sangat diperlukan sehingga akan terjadi penyelarasan antara program bottom up dan top down yang lebih sesuai. Peran PSM dalam fasilitasi penyediaan data yang valid dan akurat tersebut dapat melalui pemberian masukan pengembangan kebijakan bagi Badan Pengembangan Informasi (BPI) Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi terhadap penyempurnaan system SDGs desa yang telah ada. Seperti diketahui target pencapaian tujuan SDGs desa adalah tahun 2030 sehingga masih terdapat waktu dalam memenuhi target kemajuan desa serta peningkatan kualitas hidup masyarakat desa.


Data podes dan prodeskel yang tidak valid dan implementasi data SDGs desa yang kurang sesuai dapat ditingkatkan melalui penyediaan data yang sesuai di era 4.0, serta data yang valid di tingkat desa akan tercapai jika didapatkan secara partisipatis. Kombinasi antara digitalisasi dan partisipatif akan memenuhi kesediaan koleksi data yang lengkap dan akurat.


Data SDGs desa yang sudah ada saat ini melalui pengisian questioner tingkat desa, keluarga/rumah tangga dan individu perlu dilengkapi dengan visualisasi data spasial (gambar) contoh rumah warga, sehingga akan terlihat kondisi riil tingkat ekonomi masyarakat desa, maka bantuan sosial dan program bantuan ekonomi akan tepat sasaran serta kasus masyarakat mampu menerima bantuan sosial tidak terjadi lagi di desa. Data spasial gambar lainnya seperti sarana prasarana, jalan, jembatan, lahan pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan akan terlihat secara lebih nyata dan luasannya akan diketahui secara baik jika dibandingkan dengan data numerik saja yang ditampilkan.


Enumerator yang bertugas mengumpulkan data secara partisipatif perlu mencukupi jumlah dan mampu mewakili setiap dusun yang terdapat di desa. Sebaiknya di setiap dusun terdapat beberapa orang enumerator dan terdapat unsur perempuan dan orang difabel dalam memenuhi inklusi desa. Konsep partisipatif yang dibangun adalah enumerator di samping mengumpulkan data juga dapat melakukan observasi lapangan dan diskusi kelompok terpumpun di lingkup wilayah desa terkecil dalam hal ini RT atau dusun untuk menggali pengembangan wilayahnya dengan menghadirkan tokoh di wilayah tersebut.


Implementasi keberlanjutan updating atau pembaruan data yang valid dan akurat perlu dilakukan secara periodic semesteran sehingga kualitas data terjamin baik. Data-data yang telah terkumpul tersebut akan menjadi big data dan dilakukan analisis berbasis artificial intelligence (ai) untuk menghasilkan model pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang akurat. Untuk memenuhi hal tersebut maka diperlukan basis system dan data base yang sangat baik.


Keberadaan data-data yang akurat dan valid di tingkat desa tersebut nantinya tidak hanya dapat digunaan dalam proses perencanaan pembangunan desa akan tetapi dapat digunakan dalam kegiataan kerjasama desa, penataan desa, pengembangan bumdesa maupun deteksi bencana. Data yang akurat juga sangat diperlukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan ekstrim, miskin ekstrim adalah bentuk ketidakberdayaan dalam mengakses pemenuhan kebutuhan hak dasarnya.

 

Daftar Pustaka

Iskandar, A.H. (2020). SDGs Desa : Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia


Sjaf, S dkk. (2020). Data Desa Presisi. Bogor : IPB Press


Penulis : Yudha Adi Pradana

Editor : Aria Bantar Dinarwan

Sumber foto : https://images.app.goo.gl/9LtEgqSMgM4BjnLu6